JAKARTA, aqua-grouse-834312.hostingersite.com – Bupati Manokwari, Hermus Indou, didampingi Wakil Bupati H. Mugiyono, sejumlah dinas terkait, Kepala Distrik Masni, serta para kepala kampung terdampak, menyampaikan aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat terkait maraknya aktivitas pertambangan emas ilegal di Distrik Wasirawi, Kabupaten Manokwari.
Pemaparan tersebut disampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, bersama anggota komisi dalam rapat Panja Pengawasan Penegakan Hukum Bidang Sumber Daya Alam, Rabu (17/9/2025), di Ruang Rapat Komisi III DPR.
Hermus menjelaskan, aktivitas penambangan emas ilegal di Wasirawi telah berlangsung sejak 2014, dengan intensitas meningkat pada 2018 hingga 2022. Awalnya penambangan dilakukan oleh masyarakat setempat, namun kemudian berkembang melibatkan pendatang dan pemodal besar.
“Kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai sekitar Rp375 miliar per tahun. Hasilnya dibawa keluar daerah dengan sistem yang rapi, sementara pemerintah daerah hanya menjadi penonton,” ungkap Hermus.
Ia menegaskan, dampak yang ditimbulkan sangat luas, mulai dari rusaknya aliran Sungai Warriori akibat sedimentasi, kematian biota sungai, hingga tidak berfungsinya irigasi yang berdampak pada sawah di Kampung Warior dan Sumber Boga. Padahal, kawasan Masni–Wasirawi merupakan lumbung pangan padi untuk Papua Barat.
Selain itu, Jembatan Kali Warriori yang menjadi jalur penghubung Manokwari–Sorong juga nyaris ambruk akibat aktivitas tambang ilegal tersebut.
Hermus menyebut, keberadaan pemodal besar serta keterlibatan oknum elite dan aparat menjadi faktor utama sulitnya penertiban.
“Kita sudah bersuara, bahkan sempat berhenti dua minggu, tapi aktivitas kembali berlangsung. Ada backup luar biasa di balik ini,” tegasnya.
Menurut Hermus, faktor ekonomi juga menjadi pendorong kuat. Harga emas yang tinggi membuat masyarakat, termasuk pemilik hak ulayat, lebih memilih bekerja sama langsung dengan pemodal tanpa melibatkan pemerintah daerah.
“Akibatnya, potensi pertanian yang semestinya menopang program ketahanan pangan nasional tidak bisa dioptimalkan. Sawah tidak bisa ditanami, sungai tidak bisa digunakan, dan masyarakat adat kehilangan sumber kehidupannya,” ujarnya.(KP/03)














